Perempuan Itu Hari Ini Menangis Karena Perpisahan….

01885_HDSemuanya terasa biasa-biasa saja hari ini. Hanya sedikit mendung dan gerimis—hal-hal yang kunantikan sejak satu setengah bulan yang lalu. Iya, sejak satu setengah bulan yang lalu daerahku terasa gersang. wedding rings

Namun bukan itu yang membuatku tiba-tiba menulis ini.

***

Siang ini semua berjalan biasa-biasa saja. Adikku masih bermalas-malasan selagi menunggu jam dua siang untuk berangkat kerja, aku masih asyik menulis, sedangkan mamaku ternyata sedang menelepon entah siapa. Tapi dari isi bahasan serta gaya bicaranya, aku tau ia berbicara dengan siapa.

Samar-samar aku masih bisa mendengar apa yang ia katakan. Lalu lama kelamaan suaranya tidak terdengar.

Kemudian isak tangis tertahan pun terdengar.

Walau begitu, volume TV tidak kami kecilkan. Aku dan adikku masih duduk di depan TV seperti tidak ada yang terjadi. Aku tau, mungkin terlihat kami tidak berperasaan dengan tidak menghampirinya dan bertanya apa-apa. Namun kami sekeluarga bukanlah keluarga yang terbiasa mengungkapkan kasih sayang secara verbal dan langsung. Kami terbiasa memberi perhatian secara diam-diam dan cenderung ‘keras’. Bukan seperti keluarga pada umumnya.

Kemudian sambungan telepon tersebut diakhiri. Ia yang tadinya duduk di sudut ruang tamu, menghampiri kami yang ada di ruang keluarga dan memaksa untuk menonton sinetron Turki yang jadi favoritnya.

Sempat bertengkar dengan adikku, namun akhirnya aku lerai dan ia mendapatkan sinetron tersebut. Adikku sempat berkata, “Mama kenapa sih? Marah-marah mulu minta sinetron doang. Tadi abis nelepon siapa? Pasti tu orang yang bikin Mama marah.”

Aku menyetujui kata-katanya di dalam hati. Aku bisa menebak siapa yang ditelepon. Namun aku tak tau persis apa yang dibahas. Hingga akhirnya tak lama kemudian ia memutuskan untuk menelepon salah seorang kerabatku.

Akhirnya aku tau, lewat sambungan telepon sebelumnya, mereka resmi berpisah.

***

Kalau mau dihitung-hitung, sebenarnya mereka sudah lama berpisah. Sudah tujuh belas tahun enam bulan lamanya.

Sejak kecil aku akhirnya terbiasa sendiri. Mencoba menjadi lebih keras agar tidak lagi rapuh jika bertemu dengan dia yang meninggalkan kami. Di saat aku masih kecil, kadang-kadang ada perasaan sentimental yang terasa mengganggu. Di mana aku ingin ada sosok Ayah di sisiku seperti anak-anak lainnya.

Namun semakin dewasa aku akhirnya bisa mengerti. Aku akhirnya bisa mengerti banyak hal—walaupun itu bukan jaminan bahwa aku dapat menerimanya dengan mudah.

Aku mengerti kenapa Papa pulang kalau hanya ada perlu atau diperlukan. Aku mengerti kenapa pada akhirnya aku tak ingin beliau hadir di setiap acara wisudaku. Aku mengerti kenapa kami hanya hidup bertiga dengan seorang ibu yang menjadi kepala keluarga sekaligus. Aku mengerti tentang apa gunanya pengacara yang sering mamaku temui saat aku masih kecil dulu.

Aku mengerti kenapa suatu hari anaknya datang ke rumah—dan aku mengerti ketika aku berubah menjadi batu saat mereka ada di sini.

Aku mengerti ketika aku harus berbohong tanpa sadar mengenai keberadaan ayahku saat orang-orang menanyakan mereka.

Tapi, mengerti bukanlah jaminan untuk sebuah penerimaan.

Kadang ketika aku sedang tak waras, aku suka bertanya, “Kalau Papa ada di sini, aku akan jadi apa? Lebih manja dan nakal dari sekarang? Tetap menjadi penulis seperti sekarang? Atau hanya jadi anak ‘biasa’ yang menjalani kehidupan (yang seringkali kubilang) normal itu?”

Tapi aku tau, aku tak boleh bertanya atau mengeluh. Karena semua itu hanya akan lebih menyakiti perempuan hebat yang selama ini selalu berdiri di belakangku.

Saat aku sudah dianggapnya dewasa, ia menceritakan semuanya kepadaku. Tentang bagaimana aku kehilangan sosok ayah dalam hidupku. Tentang bagaimana ia melaluinya semua sendiri. Lalu pada di akhir cerita, ia akan berkata, “Kamu tulis dong semuanya. Jadiin novel. Ya, seenggaknya biar orang di luar sana nggak mengalami hal yang sama atau kalau terlanjur punya pengalaman yang sama… mereka tau mereka nggak sendiri di dunia ini.”

Saat itu aku hanya tertawa lalu mengiyakan. Sejujurnya aku bingung jika diminta untuk menuliskannya.

Ia adalah orang yang selalu ada di belakangku. Selalu mendukungku untuk menulis walaupun ia tau aku belum bisa apa-apa saat itu. Ia satu-satunya orang yang benar-benar mengajariku tentang kehidupan. Tentang semua pelajaran yang bisa kau ambil ketika tertimpa masalah paling pahit yang pernah kau terima.

Lalu hari ini aku mendengar, ia meminta berpisah secara resmi. Setelah dua kali gagal belasan tahun yang lalu, akhirnya hari ini Papa mengabulkannya. Pasrah. Karena tak ada lagi yang bisa dipertahankan.

Apa yang bisa dipertahankan jika fondasinya saja sudah tak ada?

Jawabannya sudah jelas, tidak ada.

***

Ini bukan pertama kali perpisahan di antara kami. Belasan tahun lalu, tak ada lagi dua hati yang menyatu di keluarga ini. Mereka berpisah. Menyisakan kami bertiga dan ia dengan pemilik barunya.

Namun tetap saja, perpisahan begitu pahit rasanya. Aku sengaja bersembunyi di kamar dan menulis ini, rasanya tidak sanggup untuk tidak menangis di depannya—yang kutau pasti akan lebih menyakitinya lagi.

Ma, pada akhirnya kita sudah bisa tenang. Mama dan Papa sudah resmi berpisah saat ini. Walau aku tau, perpisahan sebenarnya sudah terjadi tujuh belas tahun enam bulan yang lalu.

Kini kita bisa melangkah bertiga tanpa merasa sesak dihimpit masa lalu. Masa lalu memang pahit, namun menjadikan kita keluarga yang kokoh dan lebih kuat. Menjadikanmu perempuan luar biasa. Menjadikanku putri sulung yang sejak bertahun-tahun lalu sudah menanggung sebagian tanggung jawabmu pada keluarga ini. Menjadikan putra bungsumu sebagai lelaki keras kepala namun akhirnya tetap kembali pulang ke rumahnya.

Aku tau, ia memang masih membuat repot sampai saat ini walau kata “pisah” sudah keluar dari mulut kalian berdua. Tapi tenang, Ma, bertahun-tahun lagi, kelak ketika aku benar-benar dewasa, aku akan buktikan bahwa kita—walaupun hanya bertiga—adalah keluarga yang hebat.

Kita akan bangun mimpi kita di tanah kelahiranmu, Ma. Di mana kita akan punya restoran yang menyajikan menu spesial untuk mereka yang datang. Tempat itu akan kita dekorasi sesuai keinginanmu. Aku akan mengelolanya dengan baik. Dan adikku pasti sudah menjadi chef yang hebat untuk restoran kita.

Tidak perlu sampai dikenal seluruh Indonesia, tapi cukuplah restoran itu menopang semua mimpi dan harapan yang kita peluk sejak lama.

***

Perpisahan pada nyatanya begitu. Selalu mengundang airmata yang kadang tak diinginkan. Namun hidup terus berjalan. Ketika ada perpisahan, aku tau bahwa akan ada awal baru bagi kita.

Dulu aku pernah bertanya, “Sampai saat ini, masih cintakah dengannya?”

Ia hanya menjawab sambil terkekeh, “Perasaan itu jelas sudah hilang—sejak pertama kali kami memutuskan untuk berpisah.”

Lalu aku kembali bertanya, “Papa kan nggak ganteng-ganteng amat, Ma. Kok mau sama dia?”

Apa lagi sekarang ninggalin kita. Namun itu tak perlu kulisankan—karena ia pasti tau tentang apa yang tak pernah terucap olehku.

“Dulu dia baik, makanya Mama mau.” Pandangannya selalu menerawang entah ke mana saat menjawab pertanyaan ini. “Tapi, ya… semua orang bisa berubah.”

Pada akhirnya aku sadar, hal itu memang benar adanya.

Seperti perpisahan yang benar-benar nyata saat ini. Memang benar adanya.

***

13:52

12-07-2015

Seperti yang ia bilang, tulislah apa yang kita alami sehingga orang-orang di luar sana nggak merasa sendirian. Itulah satu-satunya alasanku bisa menulis tentang ini.

Bagi kamu yang mengalami perpisahan seperti ini, tenang, kamu nggak sendirian. Hari ini kamu boleh menangis, boleh memaki ia yang meninggalkanmu, tapi jangan lupa… besok adalah awal baru bagimu.

Pun denganku.

xoxo,

 

Jenny Thalia Faurine.

Leave a comment